Dalam bahasa Sansekerta Gita artinya Lagu. Blog ini berisi tentang musik-nya si Gita.

Thursday, May 10, 2007

Piano Exam

Setelah menunggu gak jelas karena bentrok jadwal lagi, akhirnya aku masuk ke kelas jam 1/2 6. Hihihi...

PR-ku dari minggu lalu adalah Tea For Two. Setelah main Tea For Two, pak guru bilang: Iseng-iseng ya ikut ujian akhir bulan Juli nanti?

What? Ujian?!? Terakhir kali ikut ujian piano adalah waktu aku kelas 4 SD. Dan it was a nightmare... This idea of piano exam jadi mengingatkanku pada suatu hari tertentu. Dimana aku adalah anak kecil bloon yang duduk sendirian di ruangan kecil berisi baby grand piano Petrof dengan tuts dari gading (harus disebutkan, karena piano guruku itu sampai saat ini masih yang terbagus dari yang sering kupegang). Tutup-nya yang besar diangkat sedikit (sekitar 30 cm), itu pertama kalinya kumelihat tutup besar grand piano itu dibuka. Di ruangan sebelah ada ibu-ibu guru teman-temannya bu guru piano. Aku mulai memainkan Sonatine-nya Clementi, kemudian di tengah jalan tiba-tiba blank, lupa apa yang harus dimainkan. As I had said, it was a nightmare...

Sekarang harusnya aku adalah pianis yang lebih berpengalaman dibandingkan 17 tahun lalu, tapi ujian is ujian, beda dengan main piano di wisudaan. Kalau ujian itu, rasanya semua mata (dan tentu saja telinga) menilai kita, terus orang-orang yang menilai itu, jauh lebih jago tentang piano dibandingkan kita. Hmm... kalo les juga gitu sih... gurunya ngeliatin dan ndengerin, dan mereka jauh lebih jago, tapi... mereka gak terus mencatat sesuatu ketika kita berbuat kesalahan, artinya gak boleh ada cela selama ujian. Meskipun lagu ujiannya tergolong simple, tapi "gak boleh ada cela"-nya itu loh... Stress gak sih. Kalo main piano di wisudaan sih, biarpun di depan 2000 orang, mau salah kek, mau keseleo dikit kek, selama kedengerannya oke dan kita bisa masking kesalahan kita, santai-santai aja...

Tapi... Hakuna Matata!! Dilarang stres. Haha... emangnya kalo aku sampe gak lulus terus apa akibatnya? Gak ada kan? Palingan jadi bahan ketawaan buat diri sendiri. Oke... sekarang kita bahas materi ujiannya:
1. Feelings
2. Forever In Love => Baca not sajah
3. My Way
4. Tangga Nada C Mayor, G Mayor, dan F Mayor. 2 Oktaf saja.

Lucu juga, kemaren sempat ngebahas Feelings dan My Way-nya kan. Terus pak guru nanya, untuk endingnya My Way gimana. Terus aku mulai memainkan jurus ending yang dia berikan C-Cm-D-C#-back to C. Pak guru terus bilang: "gak usah gitu, ini kan ujian Grade 2." Kemudian pak guru mulai ngasih contoh CM7 sederhana. Hihihi... iya ya... ngapain mikir solusi yang njlimet, emangnya mau memberikan impresi pada para penguji.

Terus harus disiplin ketukan juga. Sejak les piano pop, aku sering gak disiplin soal nilai not. Kadang aku panjangkan dan pendekkan sesuai enaknya saja. Kan sah-sah aja selama kedengerannya enak. Tapi ini ujian bok, kemampuan baca not juga dinilai, kalo aku ngubah nilai not seenaknya, nanti disangka gak bisa baca not.

Selain itu disiplin chord juga mesti diperhatikan. Kalo tertulis chord Dm, ya harus dimainkan Dm, jangan Dm7. Padahal selama ini aku senang bunyinya 7: sexier... jadi sudah mulai suka nambah-nambahin 7 di belakang chord polos.

Terus, ternyata untuk grade 2, harusnya belum ngasih ornamen-ornamen seperti mordent atau prall (prol tapai kali, makanan dunk). Jadi sebaiknya tidak menambah-nambahkan hiasan musik sendiri, kecuali ada instruksi. OK... Mudah-mudahan aku bisa ingat terus semua batasan-batasan tadi dan tidak jadi seenaknya sendiri.

Oya, yang membuatku pengen ketawa lagi: tangga nada 2 oktaf. Last week, I tried to teach a simple 2-octave C Major to my friends. It should be a simple thing for me, tapi... setelah mikir-mikir lagi... not as simple as I had thought deh kayaknya... karena:
1. Permainan tangga nadaku sudah gak rata lagi. Maksudnya selisih waktu antar nada-nya tuh gak sama. Bergantung pada aku lagi nekan pakai jari apa. Mungkin saja bisa dimaafkan kalo untuk grade 2, tapi aku malah jadi gak enak hati sendiri... karena aku tauk itu salah, kenapa aku biarkan saja.
2. Tangga nada yang jadi bahan ujian itu tangga nada jebakan semua. C Mayor misalnya: the plainest music scale. Justru karena dia plain, kita bisa terbuai, dan akhirnya salah pindah fingering.

Setelah melalui apa yang telah kulalui, ikut ujian lagi, bisa jadi pengalaman yang jauh berbeda dengan the last time kali ya? Yaah... mudah-mudahan saja bisa lancar ujiannya.

Wednesday, May 2, 2007

Ngomongin Tentang Tangan

Ngomong-ngomong tentang tangan, aku jadi teringat sama mas H'wan dan mbak Musi. Dulu mas H'wan suka gangguin para pianis, dengan bersikap seolah-olah dia ter-obsesi sama tangan pianis (mbak Musi adalah pianis). Kalo mas H'wan datang ke sekre terus mulai mengeluarkan jurus: "Tangaaannn.... Tanggaaaannn..." sambil menggerakkan jari-jarinya, aku langsung menduduki kedua tanganku, atau menyimpannya di tempat lain yang unreachable.

Apa yang istimewa dari tangan seorang pianis? Katanya orang-orang sih... kalo mijet enak... haha.. aku sendiri baru membuktikan dengan tangannya Tina. Tapi aku gak tauk, apakah itu karena dia menggunakan kekuatan pianis, atau karena dia memijat di tempat yang tepat?? Makanya aku tertarik pada buku Massage for Dummies... hehehe...

Terus bagaimana jari-jari kurus dan kecil bisa "menaklukkan" tuts-tuts seberat itu? Aku tidak tahu persis uraian secara fisiologis, yang pasti semuanya diawali dengan posisi yang tepat. Seperti halnya ujian: posisi menentukan prestasi...

Aku juga baru-baru saja menyadari bahwa "position does matter..." dan posisi yang kurang tepat bisa jadi masalah. Selama ini, teman-teman PSM yang self-teaching pianist gak punya masalah dengan bagaimana meletakkan tangan di atas piano. Mungkin karena di sekeliling mereka banyak pianis betulan berkeliaran, jadi dari nonton teman main saja sudah cukup banyak yang didapat.

Salah satu petunjuk yang sangat mudah di Piano For Dummies adalah: posisikan tangan seperti waktu mengetik. Ada benernya sih... tapi saat mengetik teks ini, aku sempet memperhatikan posisi tanganku. Ternyata gak bener-bener mirip dengan posisi tangan ketika main piano, karena pergelangan tangan dan sebagian kecil telapak tangan bertumpu di pinggiran laptop sehingga tidak leluasa berpindah-pindah, maklumlah... kan keyboard laptop besarnya juga hanya segitu-gitunya, gak perlu terlalu banyak pindah-pindah. Terus jari yang sedang tidak memencet tuts juga agak kaku, jempol pun hanya digunakan ketika memencet mouse. Yaa... gak boleh kaku, kalau gak ntar gak bisa bergerak dengan leluasa. Harus rileks... kalo kata Ronal Irama: SANTAI!!

Piano For Dummies juga ngajarin dengan metode Bola Tenis. Yang ini mirip dengan waktu pertama belajar dulu. Aku ingat, aku disuruh menggenggam kepalan tangan guruku, kemudian dia melepaskan tangannya, dan masih dalam posisi yang sama, tanganku diletakkan di atas piano. Barusan aku mencobanya dengan menggunakan kepalan tanganku sendiri, ternyata wagu... jariku jadi terlalu terlipat-lipat... karena ternyata kepalan tanganku itu kecil. Tapi waktu aku coba genggam dari sisi lain, tepatnya dari arah atas, ternyata pas. Gak tauk apakah rumus itu berlaku juga buat tangannya orang lain?

Jadi gini... tumpuk kedua telapak tangan, kedua-duanya menghadap ke bawah, posisinya sejajar. Kemudian tangan yang bawah dikepal, tangan yang di atasnya menggenggam yang di bawah. Posisi di atas piano adalah seperti tangan yang di atas. Ini tentang lengkungan telapak tangan...

Terus sekarang tentang pergelangan tangan. Pergelangan tangan gak boleh terlalu banyak gaya... kata salah seorang guruku, kalo si pergelangan bergerak naik turun, tenaga tidak bisa tersalur ke jari-jari kita. Dan lagi, kalo kebanyakan gerak malah bisa cedera loh... Kalo latian yang konvensional untuk membiasakan hal ini adalah dengan meletakkan pulpen, sumpit, tusuk konde, penggaris, kalo perlu galah di atas pergelangan tangan. Jangan sampai barang itu terjatuh... biar gak jatuh, jangan bergerak naik turun...

Jadi, sejauh ini kata kuncinya adalah:
1) Melengkung
2) SANTAI!!
3) pergelangan jangan kebanyakan gaya...

Sekian dulu obrolan tentang tangan... lain kali disambung lagi.

Tuesday, May 1, 2007

Janger

Ini adalah kisah usaha pengejaran lagu Janger...

Suatu hari, PSM-ITB dapet proyek di acara IOM-ITB Cabang Jakarta, di Wisma Niaga, Sudirman. Salah satu lagu yang dibawakan adalah Janger. Aku kebagian main iringan pianonya. Sebenarnya ada pianis lain, tapi sepertinya gak kekejar untuk mempelajari lagu Janger, sedangkan kebetulan aku sudah belajar Janger dari jauh-jauh hari.

Sayangnya... pada hari proyek itu, aku ada ujian jam 1 siang. Meaning... aku gak bisa ada di Jakarta kan? Dengan segala akal bulus anak PSM, akhirnya mas Imam mengatur supaya Janger dinyanyikan pada malam hari, menunggu aku datang dari Bandung.

Jaman tahun 2001, gak banyak pilihan sarana transportasi Bandung-Jakarta. Palingan juga naik kereta. Supaya aku bisa sampai di Jakarta pas Maghrib, aku harus naik kereta jam 1510. Padahal ujian baru mulai jam 1 siang.

Jam 1/2 3, aku mulai resah dan gelisah. Akhirnya... jam 3 kurang 15, kuputuskan untuk mengumpulkan saja jawaban ujian, dan segera naik angkot ke stasiun. Untungnya gak macet perjalanan ke stasiun, jam 1508 aku sudah sampai di depan stasiun Bandung. Taapiii... ketika aku turun dari angkot, turun hujan lebat gak pake gerimis-gerimis dulu... Karena takut telat, aku kekeuh lari lewat jalan utama halaman stasiun, bukan lewat pinggiran yang ada atapnya. Meskipun pakek payung, tetep aja basah kuyup.

Jam 1509 aku sudah lewat gerbang pemeriksaan tiket. Karena aku gak bawa tiket (dibawa si Setiyo dan Ekkhe), aku bilang (sambil lari-lari): "Pak, tiket saya ada di atas kereta..." (asumsiku si Setiyo dan Ekkhe sudah nunggu di atas kereta).

Jam 1510 aku lompat ke atas kereta. Kereta jalan... terus aku mencari Ekkhe dan Set, dari gerbong 1 ke gerbong 4... gak ada tampak sedikitpun kehadiran mereka. Waduh... padahal duitku di dompet hanya ada 1500, uang 50rb-anku yang tadi pagi aku titipkan ke Set buat beli tiket. Gimana kalo diperiksa tiket ya?

Ya pasrah aja... gimana lagi? Akhirnya aku duduk di lantai (keretanya penuh, dan yang duduk di lantai pun banyak), nunggu pak kondektur. Terus begging-begging sama kondekturnya, untung tampangku cukup memelas... jadi gak diturunin di stasiun Padalarang.

Setelah lewat daerah pegunungan, dapet voice mail. Ternyata Ekkhe dan Setiyo yang mencoba telpon dari wartel... mereka masih di stasiun Bandung, menungguku yang tak kunjung datang. Rupanya kami memang slisiban. O-ouuww...

Sampai di Jakarta jam 6 sore. Dijemput Ndulo dan Parji. Kita langsung berangkat ke Wisma Niaga. Sempet ditangkep polisi segala di deket Monas. Halah... tapi entah gimana, polisinya mau aja dikasih 10rb-an (biasanya 50rb kalo gak salah?).

Sampai di Wisma Niaga lumayan tepat waktu. Aku ganti baju pake hitam-hitam. Terus bertanya lagi ke si Jonny: ada piano gak? Jonny bilang: Ada keyboard Git...

Keyboard? Masa' harus main pakek keyboard... Janger itu rasa-rasanya sih butuh lebih dari 5 oktaf... pasti wagu banget pake keyboard?! Belum lagi pas bagian cak-cak-cak-cak itu ada deretan not 1/16 yang dimainkan cukup cepat, bisa-bisa jariku nyangkut2 gara-gara tutsnya keyboard... Maklum deh... aku kan gaptek, gak biasa pake keyboard. Belum lagi soal suaranya yang artificial... Terus sforzando-nya piye... gak asik banget...

Akhirnya tiba juga saat yang ditunggu-tunggu. Waktu koornya udah baris, aku mendekati keyboard Roland yang ada di balik koor. Aku pun berhitung: 1.. 2.. 3.. 4.. 5.. 6..... 7.....!!! Yyeeaayyy... ada 7 oktaf...!!! Ternyata ini adalah digital piano-nya Roland, bukan keyboard biasa, jadi tutsnya pun tuts piano, bentuknya sekilas memang kayak keyboard. Ada ya barang kayak gitu? (dasar gaptek...).

Hehe... untung saja... udah kabur dari ujian, basah-basah di kereta, malu sama kondektur karena gak bayar, ninggalin temen di stasiun Bandung, ditangkep polisi pula, jangan sampai main Jangernya keseleo hanya karena gaptek sama keyboard...

Hari itu, Janger pun berakhir bahagia...